Tulis & Tekan Enter
images

Demo ratusan nelayan ke Pertamina soal pencemaran lingkungan

Soal Proses Hukum Empat Nelayan Muara Badak, Ini Respons Pertamina

Kaltimkita.com, BONTANG- Desakan publik soal pemolisian empat nelayan Muara Badak, Kutai Kartanegara, yang diproses hukum setelah memasuki objek vital nasional (obvitnas) milik PT Pertamina Hulu Sanga-Sanga (PHSS) akhirnya mendapat respons dari Pertamina.

Manager Communication Relations & CID Regional 3, Dony Indrawan, mengatakan perusahaan menghormati hak setiap warga menyampaikan aspirasi, selama dilakukan sesuai hukum.

Ia menegaskan bahwa Pertamina memiliki mandat menjaga keamanan dan keselamatan operasi hulu migas sebagai objek vital nasional, dan karena itu perusahaan berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.

“Perusahaan senantiasa bersikap kooperatif demi tercapainya solusi terbaik sesuai ketentuan hukum,” kata Donny, Senin (4/8) merespons pertanyaan soal pencabutan laporan polisi. Ia menambahkan Pertamina selalu mengajak masyarakat bersama menjaga keberlanjutan produksi migas nasional sesuai Asta Cita pemerintah.

Pertamina juga menyatakan menghormati proses investigasi Tim Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup atas kasus gagal panen kerang darah di Muara Badak. “Perusahaan menghormati proses yang sedang berjalan dan berharap dapat diambil kesimpulan yang objektif dan komprehensif mengenai penyebab kejadian gagal panen kerang darah tersebut,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa PHSS tetap meyakini telah menjalankan operasi migas secara selamat, andal, dan patuh terhadap seluruh ketentuan yang berlaku, termasuk persetujuan AMDAL. Hal itu juga, menurutnya, sejalan dengan kesimpulan hasil peninjauan lapangan oleh tim Gakkum LH pada Maret 2025 lalu.

Sebagai kontraktor kontrak kerja sama bagi pemerintah, kata dia, PHSS berkewajiban menjaga keamanan fasilitas migas sebagai objek vital nasional. “Perusahaan bekerja sama dengan pihak berwenang untuk memastikan keselamatan dan keamanan tersebut,” jelas Dony. Ia mengimbau semua pihak untuk menjaga keamanan dan keselamatan fasilitas migas yang merupakan barang milik negara.

Latar Kasus

Sudah empat bulan berlalu sejak PHSS melaporkan empat nelayan: Muhammad Yusuf, Muhammad Yamin, Muhammad Said, dan Haji Tarre. Mereka dituding masuk kawasan obvitnas tanpa izin. Aksi mereka bermula dari keresahan terhadap rusaknya lingkungan tambak kerang darah di enam desa pesisir Muara Badak.

Hingga kini, proses hukum belum tuntas. Kasat Reskrim Polres Bontang, AKP Hari Supranoto, menyebut dua laporan masih ditangani. Satu dari PHSS yang sudah naik ke tahap penyidikan, dan satu dari warga yang masih dalam penyelidikan.

“Nanti pada waktunya akan kita sampaikan. Itu tugas kami,” kata Hari, Selasa (29/7).

Krisis lingkungan yang diprotes nelayan bermula akhir 2024, ketika panen kerang darah gagal total. Menurut Yusuf salah seorang nelayan, sebanyak 299 kepala keluarga terdampak. Lahan tercemar diperkirakan mencapai 1.000 hektare, dengan potensi kerugian hingga Rp68,4 miliar. Produksi yang hilang ditaksir mencapai 3.800 ton.

Hasil riset Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman menyebut ada lonjakan bahan organik, lumpur pekat, serta infeksi bakteri dan parasit yang mengganggu sistem pernapasan kerang darah. Namun dugaan pencemaran belum ditindak serius. Sebaliknya, warga dilaporkan ke polisi.

Aksi protes berlangsung Januari–Februari 2025 di sekitar rig pengeboran milik Great Wall Drilling Company 16. Ratusan warga terlibat, empat di antaranya kini menjadi terperiksa. Dalam tekanan, mereka sempat membuat pernyataan yang kemudian dituding sebagai penghasutan.

“Kami sangat tertekan. Kami hanya ingin keadilan. Kami mohon perlindungan dari segala bentuk kriminalisasi,” ujar Yusuf.

Langkah hukum terhadap nelayan menuai kritik keras. Akademisi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah alias Castro, menilai aparat gagal membedakan antara pelaku kejahatan dan warga yang sedang membela ruang hidup.

“Polisi ini seperti masuk angin. Harusnya nelayan dibentengi imunitas, bukan dipidanakan,” katanya. Ia merujuk Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan terhadap Pejuang Lingkungan dan Pasal 28H UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Castro bahkan menduga ada pola sistematis dalam penanganan kasus ini. “Jangan-jangan ini by design, untuk mengalihkan perhatian publik dan menyembunyikan kejahatan ekologis,” ucapnya. (faz)


TAG

Tinggalkan Komentar