Catatan Yon Moeis
MALAM sudah tiba ketika Achsanul Qosasi meninggalkan Madura. Di atas Suramadu – jembatan yang “membelah” Selat Madura yang, akan dia lalui menuju Surabaya dari Bangkalan – Achsanul berhenti sejenak. Dari kejauhan, AQ, demikian Achsanul biasa disebut, memandangi Madura dan, dia melihat keindahan-keindahan malam hari pulau yang telah membuat dia bangga.
Tak lama kemudian dia memastikan benar-benar pergi meninggalkan Madura. Sebelum berangkat, dia berucap dan kalimat itu ia simpan di hatinya yang terdalam. Achsanul tidak sedang berjanji. Dia sangat ingin mewujudkan apa yang sudah lama ia impikan dan malam itu, ia ucapkan; bukan hanya untuk Madura, tapi juga untuk sepak bola Indonesia.
Perjalanan sepak bola Achsanul Qosasi – dia lahir di Sumenep, 10 Januari 1966 – tidak berawal dan tidak pula terhenti di titik ini. Jika kelak dia berada di arena sepak bola Nasional, semua itu ia awali di lapangan sepak bola di tanah kelahirannya, ketika Achsanul menjalani masa kanak-kanak.
Achsanul memahami sepak bola dengan sederhana. Dia tidak pernah mempersoalkan sebuah pertandingan harus berhenti setelah berjalan selama 90 menit, tapi tetap menerima injury time, perpanjangan waktu, dan pada akhirnya kemenangan dan kekalahan ditentukan di titik penalti.
Filosofi sepak bola ia terjemahkan dengan apa adanya; karena sepak bola telah memberikan banyak pelajaran dalam kehidupan dan ketika ia menjalani hidup. Sportif, respek, dan fair play, ia jadikan pegangan, senada dengan yang pernah ia ucapkan; “Jika kita berjuang, mungkin kita tidak selalu menang. Tapi jika kita tidak berjuang, sudah pasti kita akan kalah.”
Kehadiran Achsanul di sepak bola Nasional, tidak tiba-tiba dan dia tidak pula “dijatuhkan” dari langit; dia datang dan pergi untuk dan demi sepak bola. Dia melangkah dengan hatinya dan menghitung di setiap langkah kakinya. Visi sepak bolanya jelas dan terarah.
Ketika Achsanul Qosasi menjadi Direktur Keuangan dan Ketua Komisi Anggaran PSSI, dan menjabat anggota Executive Committee (Exco), tentu saja, ini bukan pemberian. Jabatan Presiden Direktur PT Garuda Tani Nusantara (Gatara Group) dengan Pendidikan Master S2 di Jose Rizal University, Manila, Filipina, serta pengalaman dan pemahaman di bidang keungan, bisa jadi tidak cukup. Tapi, kepercayaan yang diberikan dan ia terima, bisa mengalahkan segara-galanya.
Ia pernah ingin meraih kursi tertinggi di organisasi sepak bola nasional dengan membawa konsep lima hal yang ia yakini dapat memajukan persepakbolaan di Indonesia; club organizer, talent scouter, event organizer, lobbyer, dan fund raiser. Meski kursi PSSI-1 tak kunjung ia raih, bukan berarti dia berhenti.
Achsanul kembali ke Madura dan melangkah bersama Persepam Madura United; sebuah penghargaan bagi tanah kelahiran yang ia cintai. Sebagai manajer, AQ membangun klub dengan sentuhan-sentuhan manajeman yang apik dan bercita rasa tinggi. Ia mengontrak beberapa mantan pemain Nasional, sebut saja, Mustaqim sebagai pelatih dan Indriyanto Nugroho sebagai striker andalan.
Langkah Achsanul Qosasi berlanjut. Pada 10 Januari 2016, ia mengakuisisi klub merger Pelita Jaya dan Bandung Raya, sebelum bernama Persipasi Bandung Raya, dan bertransformasi menjadi Madura United FC. Sebagai Presiden, bersama PT Polana Bola Madura Bersatu, AQ meyakini benar bahwa klub ini akan menjadi besar dan menjelma menjadi klub kebanggaan masyarakat Madura. Bertanding di Stadion Gelora Bangkalan dan Stadion Gelora Ratu Pamelingan di Pamekasan, ia mendatangkan pelatih nasional Rahmad Darmawan.
Sejak itu, Achsanul membawa Madura United kemana dia melangkah, dan juga sepak bola. Melalui @achsanul_q – akun instagram dengan follower 32.400 – AQ tak hanya menyuarakan sikap Madura United, tapi juga kegelisahan, kecemasan, dan kerinduan pada sepak bola; dunia yang ia yakini mampu merubah apa pun.
Suatu ketika, Achsanul Qosasi sebagai anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia diundang ke Istana Negara, pada 29 Mei 2019. Sebelum pertemuan resmi dengan Presiden, Jokowi bertanya pada Achsanul seputar Madura United. Tentu saja AQ tak menduga orang nomor satu di Indonesia itu sempat-sempatnya mengajak dia ngobrol sepak bola dan, dia sempat kebingungan menjawabnya.
“Presiden bertanya ‘Madura kok tidak pernah menang?’ Saya maklum kesibukan Presiden yang tidak sempat menonton bola. Jadi, saya jawab ‘Kalau melawan Solo, pasti menang, Pak,” kata Achsanul Qosasi.
Achsanul Qosasi adalah sepak bola dan sepak bola adalah Achsanul Qosasi yang, terlihat jelas di wajahnya. Ia sangat dekat dengan sepak bola dan tidak bisa pergi jauh dari sepak bola, terutama setiap kali dia datang ke Madura dan pergi meninggalkan pulau yang ia cintai dan banggakan.
Malam itu, ketika Achsanul hendak meninggalkan Madura, di atas Jembatan Suramadu, dia berucap; “Saya ingin membangun stadion megah di sana, stadion yang menjadi kebanggaan orang Madura .... “
Achsanul Qosasi memastikan menjauh dari Madura. Dia pergi membawa mimpi untuk segera kembali mewujudkan obsesi yang lama tersimpan di hatinya. (*)