Catatan Rizal Effendi
SELAMA kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman saya tak mengenal istilah Rojali dan Rohana. Awalnya saya pikir ini j seperti judul film percintaan klasik. Belakangan baru saya tahu kalau Rojali dan Rohana adalah fenomena baru di dunia marketing sebagai gejolak negatif di pasar modern.
Apa sih Rojali dan Rohana itu? Ini sebenarnya akronim, cuma rada genit. Rojali kepanjangan dari “rombongan jarang beli,” sedang Rohana adalah “rombongan hanya tanya-tanya.”
Rojali dan Rohana adalah sekelompok orang yang datang ke tempat-tempat pasar modern seperti supermarket dan mal serta pusat perbelanjaan lainnya. Tapi ternyata mereka hanya jalan-jalan saja. Kalaupun singgah di salah satu outlet atau tenant, cenderung sekadar bertanya-tanya saja alias jarang beli atau berbelanja.
Wali Kota Dr Rahmad Mas’ud didampingi GM Plaza Balikpapan Aries Adriyanto (kedua dari kiri) membuka acara expo di Plaza Balikpapan.
Ada juga istilah serupa, namanya “Rohalus”, yaitu rombongan hanya elus-elus. Jadi datang ke toko, pegang atau mengelus-elus suatu jenis barang, tapi ujung-ujungnya tidak juga membeli. Kelakuannya sama dengan Rotasi, yaitu rombongan tanpa transaksi.
Selain itu muncul juga istilah Rocuta yaitu rombongan cuci mata (sightseeing). Kemarin sore saya melakukannya bersama Pak Sabri Ramdani, pengusaha kapal feri dan mantan dirut Perusda MBS Kaltim beserta Pak Yudha Pranoto, mantan Kadishub Kaltim di Mal Pentacity, BSB Balikpapan. Hanya minum kopi dan pisang goreng di Warung Koffie Batavia sambil sesekali melirik ke arah yang lewat.
Bigmall Samarinda yang megah.
Saya lihat tak banyak orang yang datang. Sebagian toko yang menjual barang-barang bermerek hanya satu dua orang saja yang singgah atau masuk. “Hanya lihat-lihat saja, Pak,” katanya meski sedikit tersipu.
Ada lagi istilah Rosali artinya rombongan suka selfie. Atau Rocadoh dan Romansa, yaitu rombongan cari jodoh dan rombongan manis senyum aja. Biasanya mereka mengenakan busana agak norak, terkadang juga seksi. Ya sedikit menggoda dan menarik perhatian.
Lalu ada yang bertanya, kenapa istilah ini muncul dan viral? Semua “ro” yang disebut tadi ujung-ujungnya datang ke tempat perbelanjaan atau mal tidak membahagiakan pengelola toko atau menaikkan omzet penjualan. Soalnya mereka tidak membeli atau berbelanja.
Malah ada yang datang ke mal hanya untuk menghibur anak-anak. Mereka bisa bermain mulai mandi bola, bermain ketangkasan sampai naik mobil-mobilan. Lalu ditutup dengan kulineran di food court atau ngopi di kafe. Yang lain tidak dilirik.
Dalam istilah ekonomi kecenderungan Rojali dan Rohana bisa disebut sebagai window shopping. Yaitu kegiatan melihat-lihat barang di toko atau mal tanpa berniat untuk membeli. Window shopping juga dilakukan orang di toko-toko online. Orang berselancar atau browsing untuk mencari informasi barang dan harga.
PENURUNAN DAYA BELI
Banyak yang menggambarkan fenomena “ro” terjadi karena menurunnya daya beli (purchasing power) masyarakat. Faktor penyebabnya bisa karena kenaikan harga barang dan jasa (inflasi atau stagflasi), bisa karena penurunan pendapatan masyarakat (income per kapita), bisa karena ketidakstabilan ekonomi dan bisa juga akibat krisis ekonomi yang dalam.
Kalau disimak dari perbincangan dan analisis pasar, banyak yang berpendapat fenomena Rojali dan Rohana terjadi berawal dari ketidakstabilan ekonomi. Perkembangan geososial dan geopolitik serta geo-ekonomi dunia seperti terjadinya pandemi, peperangan, dan kebijakan baru Presiden AS Donald Trump yang sangat ekstrem membuat ketidakstabilan ekonomi dunia.
Salah satu sudut di Mal Pentacity, BSB Balikpapan.
Selanjutnya menimbulkan dampak beruntun. Mulai krisis ekonomi, kenaikan harga barang, menurunnya pendapatan masyarakat dan akhirnya juga menurunnya daya beli masyarakat.
Data BPS menunjukkan pada triwulan pertama 2025 konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89 persen (y-on-y), lebih rendah dibanding triwulan IV 2024 yang mencapai 4,98 persen. Padahal konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang utama perekonomian nasional dengan kontribusi 54,53 persen.
Kelompok menengah yang menjadi tulang punggung konsumsi kini mengerem nafsu belanja. Cenderung window shopping atau memprioritaskan belanja kebutuhan primer ketimbang sekunder. Belanja barang-barang kualitas tertentu untuk fashion hanya pada momen tertentu saja, seperti Lebaran, Natal, ulang tahun atau kondangan.
Bersama Pak Sabri dan Pak Yudha jadi kelompok “Rocuta.” Hanya minum kopi dan makan pisang goreng di mal sekalian cuci mata.
Fenomena Rojali dan Rohana ada juga karena pengaruh perubahan perilaku masyarakat. Banyak yang datang ke mal hanya mau tahu jenis, motif dan harga suatu barang. Jadi cuma ngecek saja. Lalu keputusan membelinya dilakukan secara online (daring) atau di loka pasar karena dianggap harganya relatif lebih murah.
Dulu orang belum terlalu percaya dan ragu-ragu jika berbelanja secara online. Khawatir barangnya tidak sesuai pesanan atau iklan penawaran. Bisa juga karena waswas barang pesanannya tak kunjung datang alias jadi korban penipuan. Tapi belakangan tingkat kepercayaan orang kepada loka pasar terus meningkat dan makin membudaya. Belanja secara e-commerce sudah menjadi peradaban baru. Bahkan para asisten rumah tangga (ART) juga ikut keranjingan melakukannya.
Ketua Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budiharjo Iduansjah mengakui salah satu penyebab orang kurang berbelanja di mal karena ada alternatif baru melalui online.
“Untuk toko-toko peralatan rumah tangga, elektronik, toko baju-fesyen, Sepatu yang ada di mal dan di department store terpukul sekali dengan adanya online,” kata Budiharjo.
Belanja masyarakat secara online tumbuh 7,55 persen pada kuartal II 2025 dibandingkan kuartai I 2025. Itu menunjukkan memang makin banyak orang yang mengurangi belanja secara offline. “Ini yang namanya fenomena shifting yaitu perubahan perilaku konsumen dari belanja offline ke belanja online,” kata Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik Badan Pusat Statistik (BPS), Moh Edy Mahmud kepada awak media.
Wakil Menteri Perdagangan Dyah Roro Esti menepis daya beli masyarakat penyebab Rojali dan Rohana. Tapi lebih karena terjadi perubahan perilaku masyarakat. “Jadi kita berkunjung ke mal tendensinya untuk nonton bioskop, makan atau kumpul keluarga dan teman-teman. Kalau lagi bosan kita ke mal,” begitu katanya.
Para pengelola pusat perbelanjaan sepertinya harus putar otak lebih kencang untuk menghentikan fenomena Rohana dan Rojali. Kalau tidak, bisa berakibat fatal. Kalau sampai toko-toko yang ada tutup, maka mal-mal juga terancam kolaps.
Konsep mal harus ditata ulang. Tidak saja sebagai toko besar untuk berbelanja, tapi juga dikembangkan semaksimal mungkin sebagai pusat gaya hidup. Orang datang ke mal bukan sekadar ingin berbelanja saja, tapi juga menikmati hidup dan mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan di tempat lain.
“Reconception mal sangat dibutuhkan,” kata seorang pengamat ekonomi. Perlu diterapkan strategi baru yang jitu agar mal mampu bertahan dan tetap tumbuh di tengah gempuran belanja online yang dahsyat dan terus melaju.
Mal pertama di Balikpapan, The Plaza Balikpapan sepertinya telah melakukan itu. “Alhamdulillah, kami tidak terlau terimbas dengan fenomena Rojali dan Rohana. Transaksi di tenant-tenant masih normal, bahkan saat event Wedding Expo kemarin naik 20 sampai 50 persen,” kata Aries Adriyanto, GM Plaza Balikpapan.
Ada kabar baru yang memberi angin segar. Datangnya dari pengumuman BPS dan pemerintah. Ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen pada kuartal II 2025 ini. Angka ini di luar dugaan para pengamat ekonomi yang tadinya memproyeksi di bawah 5 persen. Mudah-mudahan dengan kabar gembira ini, daya beli masyarakat ikut terangkat. Biar Rojali dan Rohana jadi pasangan pengantin yang memberi senyum bahagia, bukan malapetaka ekonomi.(*)