KaltimKita.com, DESA SEPASO BARAT – Tidak melupakan tugas dan kewajiban setelah diamanatkan duduk di kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Kutai Timur oleh segenap pendukung pada dapilnya salah satunya Desa Sepaso Barat Kecamatan Bengalon Kabupaten Kutim.
Maka baru-baru ini anggota DPRD Kutim Masdari Kidang tak “kendoor” dalam melayani masyarakat dengan bertatap muka langsung melalui agenda rutinitas pembahasan penyerapan usulan Musyawarah Rencana Desa (Musrendes).
Pada kesempatan itu Musrendes dibuka langsung oleh Wakil Ketua II DPRD Kutim Arfan, SE.,M.Si yang mana pada usulan masyarakat Sepaso Barat dihadapan orang nomor II unsur pimpinan DPRD Kutim mempertanyakan terhentinya realisasi bantuan Coorporate Social Responsibility (CSR) yang terhenti alias “stag” tahun anggaran 2019 sampai dengan 2020 dari perusahaan PT Kaltim Prima Coal (KPC).
Anggota DPRD Kutim Kidang akan segera memanggil perwakilan PT KPC mempertanyakan terhambatnya penyaluran CSR yang menjadi pertanyaan masyarakat dalam musrendes Desa Sepaso Barat Bengalon
“Wah kalau seperti ini ceritanya, saya serahkan langsung kepada pak Kidang saja yang memang ahli “berkompeten” pada penyaluran bantuan CSR PT KPC,” ulas Arfan.
Menanggapi perihal tersebut serta diberikan kesempatan menjawab oleh wakil ketua DPRD – nya, Kidang langsung mengambil alih podium berpendapat di sela-sela Musrendes. “Terima kasih masukannya, nanti akan saya pertanyakan langsung kepada pihak KPC, mengapa bisa demikian,” ujar Kidang.
Kidang menegaskan sudah menjadi kewajiban mutlak, menjadi kewajiban dan tanggung jawab pada penyaluran csr, berdasarkan dari aturan perundang-undangan yang mengaturnya sebagai berikut yaitu.
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Konsep CSR yang terdapat dalam UU Perseroan Terbatas juga mencakup lingkungan. Jadi, secara resmi, UU ini menggunakan istilah Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). UU ini kewajiban bagi perseroan yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Pasal 74 ayat (1) UU PT berbunyi, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan / atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.” Bila ketentuan ini tidak dijalankan, maka ada sanksi yang akan dilepas sesuai dengan peraturan-undangan.
- Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas Pemerintah menerbitkan PP No. 47 Tahun 2012 sebagai peraturan pelaksana dari Pasal 74 UU PT di atas. PP No. 47 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini hanya berisi sembilan pasal. Salah satu yang diatur adalah pelaksanaan tanggung jawab Sosial dan Lingkungan perseroan. Pasal 4 ayat (1) PP No. 47 Tahun 2012 menyebutkan, “Tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan-undangan.”
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal UU Penanaman Modal juga menyelipkan satu pasal yang membina CSR. Pasal 15 huruf b berbunyi: “ Setiap penanam modal berkewajiban: melaksanakan tanggung jawab perusahaan .” Penjelasan Pasal 15 huruf menambahkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi UU Minyak dan Gas Bumi memang tidak mengatur tanggung jawab sosial. Namun, bila dibaca secara seksama, ada satu aturan yang tersirat tentang CSR. Ketentuan itu adalah Pasal 11 ayat (3) huruf p, yang berbunyi, “ Kontrak Kerja Sama yang dimaksud dalam ayat (1) wajib memuat paling sedikit ketentuan-ketentuan pokok yaitu: pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat.”
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara UU Minerba tidak menyebut tanggung jawab sosial secara tersurat, tetapi menggunakan istilah program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Pasal 108 ayat (1) UU Minerba menyebutkan bahwa “Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.” Pasal 1 angka 28 UU Minerba mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai “usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individu maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.”
- Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara PP No. 23 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksana dari UU Minerba. PP ini menjelaskan lebih lanjut tentang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang telah disinggung oleh UU Minerba. Ada satu bab khusus, yakni BAB XII, yang terdiri dari pasal pembinaan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah Pasal 108 yang berbunyi, “Setiap pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada menteri, gubernur, atau bupati / walikota sesuai dengan kewenangannya.” Pelanggaran terhadap kewajiban ini dapat dikenakan sanksi administratif.
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi UU Panas Bumi juga memiliki pasal yang mengatur tanggung jawab sosial perusahaan. UU ini menyebutkan istilah tanggung jawab sosial dan pengembangan masyarakat sekaligus. Pasal 65 ayat (2) huruf b berbunyi: “ Dalam pelaksanaan penyelenggaraan Panas Bumi masyarakat berhak untuk: memperoleh manfaat atas kegiatan pengusahaan Panas bumi melalui kewajiban perusahaan untuk memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan dan / atau pengembangan masyarakat sekitar.”
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penanganan Fakir Miskin Setidaknya ada dua pasal yang menyinggung CSR dalam UU No. 13 Tahun 2011. Pertama, Pasal 36 ayat (1) huruf c yang menyatakan bahwa salah satu sumber daya dalam penanganan fakir miskin, adalah dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan. Ketentuan ini ditegas oleh Pasal 36 ayat (2) yang berbunyi, “Dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan yang dimaksud pada ayat (1) huruf yang digunakan sebesar-besar untuk penanganan fakir miskin”. Selain itu, ada pula Pasal 41 yang menggunakan istilah pengembangan masyarakat. Pasal 41 ayat (3) menjelaskan bahwa pengembangan pelaku usaha serta dalam menyediakan dana perwujudan dari tanggung jawab sosial terhadap penanganan fakir miskin.
Sumber: Mengenal Sejumlah Regulasi yang Mengatur CSR di Indonesia


