Tulis & Tekan Enter
images

Pencemaran Muara Badak: Nelayan Tuntut Hasil Lab, KLH Jawab Kritik

Kaltimkita.com, MUARA BADAK – Sepuluh bulan setelah dugaan pencemaran laut di Muara Badak, masyarakat nelayan terus menanti kepastian hukum. Pusat advokasi Kalimantan Timur (Pusaka) menuding proses lambat, sementara Kementerian Lingkungan Hidup memastikan penanganan jalan terus tanpa intervensi.

Sejak kejadian, ratusan keluarga petambak kerang dara merasakan dampak ekonomi. Sebanyak 299 nelayan kehilangan mata pencaharian. Ribuan ton kerang gagal panen. Kerugian ditaksir mencapai Rp68,4 miliar, dengan lebih dari 1.000 hektare tambak terdampak. Potensi produksi yang hilang diperkirakan mencapai 3.800 ton.

Pusaka, lembaga bantuan hukum yang mendampingi para nelayan terdampak menilai penanganan kasus berjalan lambat. Mereka menyorot dua hambatan utama. Pertama, dugaan penahanan hasil laboratorium oleh KLH.

Menurut Pusaka, uji laboratorium independen dari Universitas Mulawarman (Unmul) dan Institut Teknologi Bandung (ITB) sudah menunjukkan indikasi pencemaran. “Namun hasil resmi dari Gakkum KLH, yang seharusnya menjadi alat bukti utama pidana, justru tak kunjung dirilis. Keheningan ini memicu spekulasi dan melumpuhkan proses hukum,” ujar M. Taufik, Ketua Pusaka Kaltim.

Hambatan kedua, menurut Taufik, berasal dari birokrasi internal kepolisian. Dokumen SP2HP Ditreskrimsus Polda Kaltim Nomor B/134/VIII/RES.5.5/2025/Krimsus tertanggal 27 Agustus 2025 menyebut penanganan perkara yang dimulai Juni 2025 harus melalui gelar perkara bersama Polres Bontang. Taufik memperingatkan, proses koordinasi internal berisiko memperpanjang kebuntuan. “Jangan sampai koordinasi internal dijadikan justifikasi baru untuk menunda penyidikan. Para nelayan sudah terlalu lama menunggu,” tegasnya.

Nelayan setempat mengeluhkan kebingungan atas prosedur uji dan penyidikan. Muhammad Said, Ketua Persatuan Budidaya Kerang Dara, mengatakan anggota mereka mogok total dan mencari pekerjaan alternatif. Ia menunggu hasil uji forensik yang disebut masih berada di Mabes Polri.

“Katanya, hanya satu laboratorium di Indonesia yang bisa menguji parameter tersebut. Tapi sampai sekarang kami tidak mendapat kepastian. Kami merasa digantung tanpa kejelasan bantuan atau pemulihan,” katanya. Said mengaku merugi hampir Rp1 miliar dari lahan tambak seluas 7 hektare.

Aksi protes berlangsung berkali-kali sejak Januari hingga Februari 2025. Demonstrasi menyasar area pengeboran RIG Great Wall Drilling Company 16. Empat warga dilanjutkan ke proses hukum, yang bagi sebagian akademisi bermasalah. Dosen pengajar Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai tindakan aparat melanggar prinsip perlindungan pejuang lingkungan sesuai PermenLHK No. 1 Tahun 2021.

Di pihak perusahaan, Manager Communication Relations & CID PT Pertamina Hulu Indonesia (PHI), Dony Indrawan, menyatakan PHSS berkoordinasi dengan pemerintah dan pemangku kepentingan. Ia menegaskan seluruh kegiatan dijalankan sesuai aturan lingkungan. “Pertamina juga mengimbau semua pihak menjaga kondisi kondusif demi kelancaran operasi hulu migas yang merupakan objek vital nasional,” ujarnya. Dony menambahkan perusahaan menghormati hak warga menyampaikan aspirasi selama sesuai hukum dan menegaskan PHI berkewajiban menjaga keamanan serta keselamatan operasi. “Perusahaan bersikap kooperatif dan mengikuti seluruh proses hukum yang berjalan demi mencari solusi terbaik sesuai peraturan,” jelasnya.

KLH merespons kritik terkait keterlambatan rilis hasil laboratorium. Deputi Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup, Irjen Pol Rizal Irawan, mengatakan hasil uji belum dapat dirilis karena masih dipakai sebagai alat bukti dalam proses hukum. “Hasil laboratorium bersifat rahasia dan tidak pernah dirilis selama proses hukum berlangsung. Dalam perkara perdata, hasil itu menjadi alat bukti; sementara dalam pidana, sebagai berkas pendukung,” katanya.

Rizal membantah adanya penahanan hasil karena intervensi politik. Ia menyebut dokumen termasuk kategori rahasia sesuai aturan PPID, namun informasi terkait ada atau tidaknya pencemaran dapat disampaikan ke pengadu menurut Permen LHK No. 22 Tahun 2017.

Terkait prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagaimana Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009, Rizal menyatakan KLH telah menempuh langkah administratif, pidana, dan perdata bila bukti pencemaran ditemukan.

“Proses ini melibatkan verifikasi ahli, rapat klarifikasi, dan supervisi penanganan. Saat ini, Pertamina Hulu Sanga-Sanga bersedia menyelesaikan sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan bersama masyarakat terdampak dan pemerintah daerah,” ujarnya.

Ia menegaskan penanganan kasus terus ditindaklanjuti. Pihaknya telah melakukan verifikasi pengawasan, verifikasi sengketa bersama ahli, dan klarifikasi. Penanganannya terus ditindaklanjuti sesuai prosedur dan aturan yang berlaku. “Pak Menteri [Hanif Faisol] mengatensi kasus ini,” tambahnya. “Penanganan sampai saat ini masih terus berlanjut.”

Terpisah, Kapolres Bontang AKBP Widho mengonfirmasi penyelidikan belum dapat dilanjutkan karena masih menunggu hasil uji sampel KLH. Menurutnya, ada tiga sampel dari Unmul, Dinas LHK Tenggarong, dan Kementerian Lingkungan. “Belum bisa ditindaklnjuti,” katanya Rabu sore (8/10).

Adapun Pusaka menuntut tiga langkah awal. Pertama, Gakkum KLH segera merilis hasil laboratorium secara transparan agar proses hukum tidak terhambat. Kedua, percepatan gelar perkara dengan jadwal yang terukur. Ketiga, Pusaka meminta PHSS menunjukkan itikad baik lewat pemulihan lingkungan dan dialog ganti rugi bagi nelayan terdampak. (faz)


TAG

Tinggalkan Komentar

//