Oleh: Prakoso Yudho Lelono
Kaltimkita.com, BALIKPAPAN - Hari ini, 1 Muharram 1447 H bertepatan 27 Juni 2025. Umat Islam di seluruh dunia memperingati pergantian tahun. Momen yang bukan sekadar pergantian kalender, tetapi juga seyogyanya menjadi momentum refleksi dan pembaruan diri.
Penetapan tahun Hijriah sebagai kalender resmi umat Islam tidak terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW, melainkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab RA, tepatnya sekitar tahun 638 Masehi atau 17 tahun setelah peristiwa hijrah Nabi ke Madinah.
Makna kata hijrah, berasal dari kata Bahasa Arab yaitui hajara (هَجَرَ) yang berarti meninggalkan atau berpindah. Namun secara istilah dan dalam konteks keislaman, hijrah memiliki makna yang lebih dalam dan luas. Hijrah adalah proses transformasi menyeluruh, baik secara spiritual, sosial, maupun kultural. Hijrah bukan hanya soal pindah tempat, tetapi tentang kemauan untuk berubah ke arah yang lebih baik, dengan tekad, istiqamah, dan kontribusi nyata bagi diri sendiri dan lingkungan.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Di Indonesia, perayaan tahun baru Islam memiliki kekayaan ekspresi budaya yang luar biasa; dari pawai obor, doa bersama, hingga tradisi sedekah bumi di sejumlah daerah. Namun di tengah budaya kekinian yang serba cepat, di era digital yang cenderung individualistik, bagaimana sebenarnya posisi perayaan 1 Muharram ini dalam kehidupan sosial dan budaya kita saat ini?
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah menjadi tonggak penanggalan Islam. Tapi yang lebih penting dari peristiwa itu adalah semangat di baliknya: keberanian untuk berproses menuju perubahan yang lebih baik. Dari kegelapan menuju cahaya, dari penindasan menuju kemerdekaan, dari keterbelakangan menuju peradaban.
Sebagaimana disampaikan oleh Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar, “Hijrah bukan sekadar berpindah tempat, tetapi berpindah sikap, berpindah pemikiran, dan berpindah jiwa.” Di sinilah 1 Muharram menjadi lebih dari sekadar seremoni; ia menjadi simbol pergerakan dan transformasi.
Di tengah tantangan sosial hari ini; kemiskinan, disinformasi, krisis moral, hingga keterpecahan sosial dan lain sebagainya. Bahwa semangat hijrah seharusnya dapat menjadi inspirasi kolektif untuk bangkit dan memperbaiki keadaan. Tahun Baru Islam harus menjadi panggilan untuk melakukan hijrah sosial, hijrah budaya, dan hijrah spiritual ke arah yang lebih baik.
Di berbagai daerah di Indonesia, perayaan 1 Muharram menjadi ruang ekspresi budaya dan spiritualitas yang unik. Semisal di Aceh ada tradisi Khanduri Tahun Baru, di Jawa kita mengenal kirab 1 Suro, di Minangkabau ada Bajamba Muharram, dan di sebagian masyarakat Betawi masih lestari tradisi doa akhir dan awal tahun.
Semua itu bukan sekadar perayaan, tapi menjadi ajang silaturahmi, memperkuat kohesi sosial, dan menjaga identitas budaya lokal dalam bingkai Islam dengan budaya Nusantara. Di tengah gempuran budaya populer yang mengglobal, perayaan Muharram seperti ini menjadi oase pelestarian jati diri.
Namun di sisi lain, tak dapat dipungkiri bahwa generasi muda kini semakin menjauh dari tradisi tersebut. Banyak yang menganggapnya usang, tak relevan. Di sinilah peran penting tokoh agama, pemuda, seniman, budayawan dan semua yang terkait untuk mengemas ulang nilai-nilai hijrah dan budaya lokal dengan pendekatan kekinian.
Dalam era digital seperti sekarang ini, persepsi kita terhadap makna keagamaan dan budaya banyak bergeser. Perayaan tahun baru lebih identik dengan pesta pora yang penuh dengan euphoria. Seperti kemeriahan acaran pesta, menyalakan kembang api, dan hitungan mundur di layar gawai. Lalu, bagaimana dengan 1 Muharram?
Sayangnya, perayaan Tahun Baru Hijriah kerap tenggelam dalam diam, tak semeriah pergantian Tahun Masehi. Atau sekurang kurangnya tak semarak perayaan lain seperti Maulid Nabi. Ini bukan soal harus meriah atau ramai, tapi tentang bagaimana nilai-nilai yang terkandung dalam momen tersebut bisa hadir dalam kesadaran diri kita atau yang lebih luas, kesadaran kolektif masyarakat kita.
Maka pertanyaannya: apakah kita hanya sekadar memperingati tanpa menghidupkan maknanya? Atau berani mengambil langkah hijrah secara nyata—dalam perilaku, relasi sosial, dan kontribusi positif untuk masyarakat? Jika kita sepakat bahwa semangatnya bahwa hari ini harus lebih baik dari kemarin, dan esok harus lebih baik dari hari ini. Sebagaimana dikatakan oleh cendekiawan Muslim kontemporer Tariq Ramadan, “Hijrah bukan hanya berpindah tempat, tapi berpindah kondisi dari keburukan menuju kebaikan, dari pasif menuju aktif, dari egois menuju peduli.”
Tahun Baru Islam, sepatutnya menjadi peluang emas untuk memulai hijrah personal yang diharapkan menjadi hijrah sosial. Kita melihat hari ini masyarakat kian terfragmentasi, baik karena politik, ekonomi, maupun media sosial. Saling curiga, polarisasi, dan ujaran kebencian menjadi makanan sehari-hari di lini masa kita.
Momentum 1 Muharram harusnya menjadi ruang untuk merenung dan refleksi. Untuk diri pribadi merupakan momentum evaluasi diri dan penataan ulang relasi sosial yang lebih adil, empatik, dan gotong royong. Perayaan ini bisa dimaknai dengan kegiatan sosial—seperti berbagi makanan, santunan anak yatim, membersihkan lingkungan, hingga diskusi publik yang menggugah kesadaran kolektif.
Di tingkat budaya, kita juga bisa melakukan hijrah kreatif yakni dengan menggali dan merawat tradisi lokal dengan pendekatan kekinian. Bayangkan jika kirab 1 Muharram dibuat sebagai konten dokumenter media sosial oleh para santri digital, atau tradisi doa awal tahun dikemas dalam podcast lintas generasi. Budaya tak harus kaku, asal tetap menjaga ruh dan nilai aslinya.
Di tengah hidup yang makin bising dan terburu-buru, seakan hidup ajang balapan, hadirnya tanggal 1 Muharram sebagai pengingat untuk berhenti sejenak, menengok ke dalam diri. Kita butuh ruang spiritual untuk menyusun ulang makna hidup. Bukan hanya soal urusan personal, tapi juga tentang bagaimana kita bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama. Bukankah baginda Rasulullah SAW, bersabda: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain." (HR Ath-Thabari).
Tahun Baru Hijriah adalah momentum tepat untuk membuka lembaran baru. Tidak harus dengan perubahan besar, cukup dengan niat dan langkah kecil yang konsisten. Dalam sebuah hadits riwayat Muslim, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah.” Artinya, hijrah adalah soal perubahan diri, evaluasi moral, dan upaya memperbaiki hubungan dengan sesama manusia dan sang pencipta.
Mungkin sudah saatnya kita menggeser cara pandang terhadap perayaan 1 Muharram: dari yang semula hanya seremonial menjadi substansial. Dari yang sekadar ritual menjadi spiritual dan sosial. Tidak hanya dirayakan di masjid atau pesantren, tapi juga hadir di ruang publik, media sosial, atau bahkan hadir di ruang-ruang dialog antarbudaya dan lintas agama.
Perayaan 1 Muharram bisa dijadikan gerakan bersama dengan melibatkan sekolah, berbagai komunitas masyarakat, lembaga sosial, hingga influencer. Kita bisa mengadakan lomba konten bertema hijrah, festival budaya Islami, ziarah tokoh lokal, hingga aksi solidaritas untuk kaum marginal. Bukan hanya menyentuh akal dan emosi, tetapi juga melibatkan tindakan nyata.
Tahun Baru Hijriah bukan sekadar tanggal merah di kalender. Ia adalah ajakan untuk melangkah ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun sosial. Di tengah zaman yang terus berubah, kita perlu terus memelihara makna hijrah sebagai semangat pembaruan.
Mari rayakan 1 Muharram 1447 H bukan hanya dengan doa dan dzikir, tetapi juga dengan aksi dan refleksi. Sebab pada akhirnya, perubahan besar selalu dimulai dari perubahan kecil yang kita lakukan hari ini. Sebagaimana firmna Allah: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Akhirnya, Selamat Tahun Baru Islam 1447 Hijriah. Semoga hijrah kita tahun ini lebih nyata dan berdampak. (*)