Tulis & Tekan Enter
images

Tampak anggota DPRD Kutim Kidang bersama perwakilan tokoh adat organisasi kedaerahan Kutai saat mengantarkan bocah korban dimangsa buaya.

Masyarakat Usulkan Perburuan dan Perdagangan Kulit Buaya, Anggota Dewan Kidang Tidak Mau Gegabah Terbentur UU Perlindungan Satwa

KaltimKita.com, SANGATTA – Banyaknya korban yang berjatuhan dimangsa buaya, mulai memicu reaksi keras masyarakat sehingga mengusulkan perburuan buaya untuk mengurangi satwa hewan tersebut dan menekan jatuhnya korban manusia.

Pasca beberapa kali kejadian manusia disantap buaya ganas di sepanjang aliran sungai Kabupaten Kutai Timur, masyarakat angkat bicara dan mengusulkan kepada anggota DPRD Kutim Masdari Kidang. “Pak ini sudah tidak bisa dianggap main-main lagi banyaknya manusia yang tewas menjadi korbang keganasan hewan pemangsa monster predator buaya. Bagaimana Pak bisakah kita usulkan kepada pemerintah dalam hal ini Bupati Kutim Bapak Drs H Ardiansyah Sulaiman, M.Si agar buaya dapat diburu dan dijual kulitnya? Kan lumayan Pak dapat menambah nilai ekonomi pendapatan pajak daerah dari hasil menjual kulit buaya bahkan dagingnya dapat sebagai obat, taringnya jadi souvenir seperti mata kalung dan organ-organ lainnya dapat dijadikan apakah untuk menu varian kuliner dan sebagainya,” ujar perwakilan masyararakat kepada anggota dewan Kidang.

Bahkan masyarakat telah menyiapkan tenaga sang pemburu buaya. Jika memang diperbolehkan. Menanggapi hal itu Kidang belum berani berspekulasi hal ini dikarenakan buaya merupakan satwa yang dilindungi negara berdasarkan aturan norma hukum yang berlaku. “Jangan sampai menyalahi aturan perlu dikaji dan dikonsultasikan ulang. Karena aturan telah baku dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan PP 7/1999, ada tujuh jenis buaya dan empat di antaranya dilindungi, salah satunya crocodylus porosus atau buaya air tawar, jenis muara ini. Satwa ini juga masuk dalam UU internasional (luar negeri) mendunia,” tegas anggota dewan itu.

 

Agar tak ada korban dimangsa buaya, masyarakat usulkan perburuan buaya kepada anggota dewan Kidang agar tidak terbentur aturan hukum UU perlindungan satwa

Anggota dewan ini beranggapan dalam hal ini tidak mau gegabah dan menjerumuskan masyarakat terjerat pada ranah hukum. “Bagaimana dengan penjualan kulit buaya itu pun ada pasal sanksi hukumnya, berdasarkan Pasal 40 ayat (2) jo Pasal 21 ayat (2) huruf A dan C Undang-undang Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, setiap orang dilarang memperdagangkan satwa yang dilindungi,” beber Kidang.

Kidang menegaskan dalam hal ini, lantas kalau sudah seperti ini kejadiannya siapa yang patut dipersalahkan? “Semua ini kesalahan sejak awalnya di saat habitat mereka dirusak apakah itu untuk perluasan lahan tambang batu bara, perkebunan sawit, pembakaran hutan akibatnya dengan gampangnya memberikan izin tanpa memperhatikan aturan dan amdal. Saya ini lahir di Kutim sejak tahun 1970 sampai dengan 2015 dapat dikatakan sungai Bengalon dulunya tidak pernah ditemui buaya berkeliaran. Hal ini karena konservasi habitat aslinya masih terjaga. Karena saya ingat betul dulu di Kutim ini memang ada areal hutan belantara liar didapati banyak ekosistem satwa-satwa liar apakah monyet, orang utan termasuk buaya bahkan hewan ini di masa itu dapat berdampingan di kawasan yang dimaksud serta  dengan mudah mencari rantai makanannya sendiri tanpa mengancam keselamatan nyawa manusia,” kata Kidang.

Kidang tidak menjamin terbangunnya penangkaran tidak efektif. “Sudah pasti namanya saja penangkaran berarti menambah volume pertumbuhan populasi jumlah buayanya. Dan buaya beranak pinak diperairan Kutim atas izin yang kuasa dan memang wilayah kita digariskan sebagian kawasan habitat buaya,” imbuhnya.

Dirinya menjelaskan membangun penangkaran tidak akan maksimal menampung buaya yang mungkin saja jumlahnya hingga saat sekarang sudah ribuan serta membutuhkan anggaran (budgeting) besar untuk pemeliharaan dan kebutuhan makannya. “Berapa ton ayam yang dibutuhkan untuk memberikan makan buaya apabila ditangkarkan sudah pasti pengeluaran membengkak. Lebih penting membangun infrastruktur ketimbang membeli ayam berton-ton,” urai Kidang.

Sebenarnya Kidang menuturkan walau telah salah di awal seharusnya juga ada aturan hukum bagi aktivitas pengelolaan pengembangan lahan seperti perusahaan yang bergerak pada komoditi sektor sawit dan batu bara yang kedapatan merusak habitat satwa dilindungi salah satunya satwa buaya. “Karena saya tahu persis perusahaan-perusahaan sawit, batu bara yang merusak. Terlebih sawit karena saya melihat sendiri kawasan habitat aslinya benar-benar terbentuk dari alam tergerus karena perkebunan sawit. Bahkan kawasan tadi dibangunkan jalur kanal yang mengarah pada sungai Bengalon dan meluas di sepanjang Kutim,”ungkapnya.

Anggota DPRD Kutim yang juga sebagai petani tulen di Bengalon menambahkan butuh konservasi alam buatan menyerupai alam liar. “Tapi sepertinya sulit juga mengarahkan buaya-buaya ke lahan-lahan daur ulang yang dibuatkan itu karena sudah lepas secara liar dan berkembang biak. Hal ini perlu kita pikirkan bersama agar segera mendapatkan jalan keluarnya secara serius.

“Sementara tindakan yang bisa kita lakukan dalam mengantisipasi serangan buaya alangkah baiknya kesadaran kita bersama dapat berpikir maju dan modern jika ingin bersentuhan dengan air di kamar mandi, jika sulit membangun kamar mandi buat sumur bor, jika mengharuskan menginap di kebun sediakan sarana mandi yang aman untuk anak-anak kita di saat bermain di kebun dengan membuat kolam terpal jika selesai airnya dikeluarkan dari dalam terpal agar tidak disinggahi buaya. Perlunya pengawasan ekstra ketat dengan larangan mandi di sepanjang sungai, selalu mengambil hikmah akan peristiwa berujung musibah (duka) agar kedepannya tidak terulang kembali sebagai pembelajaran, sadar dan disiplin tidak mendekati tingkat kerawanan bahaya apalagi mendatangkan bahaya seperti musibah,” tutup Kidang. (adv/iya/bie)


TAG

Tinggalkan Komentar

//