Kaltimkita.com, BALIKPAPAN– Setelah melewati masa panjang rehabilitasi, dan kini atas nama harapan dan kelestarian, enam Orangutan akhirnya Dilepasliarkan kembali ke alamnya.
Disaksikan relawan dari mancanegara dan awak media, Senin (21/4/2025), keenam orangutan yang diberi nama Sie Sie, Siti, Bugis, Uli, Mikhayla dan Mori dilepas oleh Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni didampingi Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud berserta CEO Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF), Jamartin Sihite.
Adapun prosesi pelepasliaran dilakukan dari pusat rehabilitasi milik Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) di Samboja, Kutai Kartanegara, menuju kawasan hutan Kehje Sewen di Kabupaten Kutai Timur. Hutan ini bukan sekadar pepohonan dan semak belukar, tapi tanah kelahiran yang sempat direnggut oleh kerusakan.
“Kita semua di sini menyaksikan hasil dari kerja bersama antara pemerintah, BKSDA, BOSF, mitra swasta, hingga masyarakat. Ini bukan sekadar melepas hewan liar, ini adalah upaya mengembalikan kehidupan yang pernah diambil dari mereka,” ujar Raja Juli terharu.
Raja Juli tak menampik rasa dilematis yang menyelimutinya. Di satu sisi, ada rasa bangga bisa mengembalikan mereka ke habitat aslinya. Di sisi lain, ini menjadi cermin dari rusaknya rumah mereka yang lama.
“Inilah tantangan kita dalam menjaga hutan agar tak makin banyak satwa yang harus diselamatkan. Konservasi tak bisa dipisahkan dari upaya melindungi hutan,” tegasnya.
Sebelum dilepas, lanjutnya, orangutan-orangutan ini telah melewati fase perawatan medis, pelatihan bertahan hidup, hingga kesiapan mental untuk menghadapi kembali rimba yang tak lagi sama. Sebab, tanpa proses itu, mereka tak akan mampu bertahan.
Menteri Raja Juli juga menyampaikan bahwa Pemerintah akan memperkuat regulasi dalam perlindungan satwa liar dan kawasan hutan, sembari tetap mendukung pembangunan nasional.
“Pembangunan penting untuk kesejahteraan rakyat, tapi alam juga harus dijaga. Keseimbangan itu harus kita wujudkan karena alam adalah anugerah dari Tuhan yang harus dijaga,” pintanya.
Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud yang turut hadir menyebut kegiatan ini sebagai simbol nyata kolaborasi antar pemangku kepentingan dalam menjaga spesies endemik daerah.
“Ini bukan hanya soal orangutan, tapi juga tentang keberlanjutan ekosistem kita,” katanya.
CEO BOSF, Jamartin Sihite menambahkan, bahwa salah satu yang menjadi sorotan adalah Mikhayla, betina muda berusia 10 tahun. Ditemukan dalam kondisi kurus di kawasan tambang pada Januari 2025, kini ia telah berubah menjadi sosok tangguh yang siap menapaki kembali ranting-ranting tinggi Kehje Sewen.
“Mikhayla dilepas secara simbolis oleh Menteri Raja Juli, menjadi lambang harapan dalam senyap hutan yang menanti,” harapnya.
Data BOSF mencatat, dari sekitar 350 orangutan yang kini masih dalam proses rehabilitasi, sekitar 100 di antaranya tak mungkin dilepasliarkan. Alasan utama kerusakan fisik atau trauma perilaku. Ironisnya, 90 persen dari mereka adalah korban konflik dengan manusia, baik karena perburuan, peliharaan ilegal, atau pembangunan yang membelah habitat.
“Sebanyak 90 persen orangutan yang kami tangani merupakan korban konflik dengan manusia, sebagian lainnya hasil peliharaan ilegal atau ditemukan di pinggir jalan, kawasan tambang, dan wilayah terdampak pembangunan,” terangnya.
Setelah dilepas, keenam orangutan tersebut akan terus dipantau. Teknologi telemetri tertanam di bawah kulit mereka, memungkinkan tim pelacak mengawasi pergerakan mereka meski sinyal kerap tersendat oleh kontur bukit.
“Hutan Kehje Sewen bukan tempat asing bagi kami. Ini adalah rumah kedua bagi puluhan orangutan yang pernah kami rehabilitasi,” tuturnya.
“Jika proses pelepasliaran gagal, bukan hanya nyawa yang hilang, tetapi juga reputasi Indonesia di mata dunia,” tutupnya.
Lebih dari dua dekade, BOSF telah berdiri sebagai mitra strategis dalam upaya konservasi orangutan. Bukan hanya sebagai tempat penyelamatan, tapi juga pusat edukasi dan riset. Kini, dengan setiap individu yang kembali ke hutan, mereka menanam benih harapan bahwa alam masih punya kesempatan untuk pulih. (lex)