Kaltimkita.com, SAMARINDA- Kalimantan Timur (Kaltim) tercatat sebagai pionir dalam implementasi program insentif pelestarian hutan melalui Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) di Indonesia. Sejak perjuangan dimulai pada tahun 2009, provinsi ini berhasil mengamankan kucuran dana awal sebesar $20,9 juta (sekitar Rp325 miliar) pada tahun 2023.
Capaian ini menjadi langkah awal menuju target insentif finansial $110 juta dari program FCPF Carbon Fund yang bekerja sama dengan Bank Dunia.
Program ini sejalan dengan Pasal 5 Ayat 2 Perjanjian Paris, yang mendukung mekanisme Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+) berbasis hasil.
Kepala Bidang Perencanaan dan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Kaltim, Susilo Pranoto di Samarinda, Minggu (29/6), menjelaskan bahwa inisiatif ini menargetkan penurunan emisi sebesar 22 juta ton CO2 dari sektor kehutanan dan lahan. Ini mencakup perlindungan sekitar 6,5 juta hektar area perhutanan, atau sekitar setengah dari total luas wilayah Kaltim yang mencapai 12,5 juta hektar.
Dana awal sebesar $20,9 juta telah didistribusikan kepada berbagai pihak yang berperan penting dalam pelestarian hutan di Kaltim. Kementerian Kehutanan dan UPT Pusat di Kaltim, termasuk Taman Nasional Kutai Bontang dan BKSDA, menerima 9,27 persen atau sekitar Rp28 miliar.
Sementara itu, Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) mendapatkan Rp161,7 miliar. Pemerintah Provinsi Kaltim dan perangkat daerah terkait menerima Rp69 miliar, tujuh pemerintah kabupaten dan satu kota memperoleh Rp41 miliar, dan masyarakat di 441 desa serta 150 kelompok/komunitas mendapatkan Rp130 miliar.
Terakhir, lembaga perantara menerima Rp22 miliar. Penyaluran dana ini dibagi menjadi 25 perseb untuk tanggung jawab, 65 persen untuk kinerja, dan 10 persen sebagai penghargaan, dengan BPDLH sebagai lembaga yang menyalurkan langsung dana tersebut kepada setiap instansi penerima.
Meskipun telah menunjukkan progres yang positif, Kaltim masih menghadapi tantangan dalam mendapatkan sisa komitmen pendanaan sebesar $89 juta dari Bank Dunia. Proses negosiasi terus berlangsung dengan harapan dapat diselesaikan pada tahun 2025 ini.
Selain itu, Bank Dunia juga menyoroti pentingnya percepatan pengakuan masyarakat hutan adat. Hal ini krusial agar lebih banyak masyarakat adat dapat diakui qdan merasakan manfaat langsung dari dana FCPF yang telah disalurkan, memperkuat upaya pelestarian hutan yang berkelanjutan di Kalimantan Timur. (fan/adv/kaltimkita.com)