KaltimKita.com, SANGATTA – Selain prihatin pandemi covid-19, kerawanan kebakaran hutan dan lahan (Karhutla). Ketua DPRD Kutai Timur Joni S.Sos miris sekaligus berduka atas kejadian yang terbilang heboh “geger” banyaknya korban berjatuhan dimangsa buaya tanpa belas kasihan dan mengenal usia.
Pada keterangan pers-nya Ketua Dewan Kutim menegaskan buaya bekerliaran dengan bebas mendekati pemukiman warga, bahkan seperti di kanal 3 ada yang melintang di jalan berbahan batu merah (latrit) perumahan Jokowi jalan Pendidikan (Bukit Pelangi) Sangatta, masuk ke halam warga, kolam ikan artinya buaya tersebut kebingungan tak miliki habitat aslinya yang tergusur dengan aktivitas pertambangan, perkebunan dan kebakaran lahan dan hutan.
Tampak anak dimangsa buaya masih bagian dari keluarga anggota dewan Kidang
“Bahkan buaya sulit membedakan mana rantai makanan sebenarnya sampai-sampai bisa saja tanpa sengaja, reflek, spontan menyantap manusia. Karena tidak ada lagi populasi hewan buruan makanan karena punah akibat rusaknya alam,” beber Joni. Bahkan sebelumnya seperti yang terberitakan KaltimKita.com anggota DPRD Kutim Masdari Kidang sejak era tempo doloe hingga memasuki 2005 ekspansi besar-besaran perusahaan pertambangan batu bara, terlebih perusahaan perkebunan kelapa sawit mengharuskan membuka aliran kanal yang mengarah pada aliran sungai di pesisir pemukiman masyarakat.
Adanya usulan penangkaran buaya menurut Kidang percuma saja, karena tidak akan mungkin menampung ribuan buaya. “Karena dalam pelajaran IPA Biologi Kutim dikatakan sebagai habitat buaya terbesar. Penangkaran itu bersifat beranak pinak tidak efektif,” ulas anggota dewan fraksi Berkarya ini.
Ditangkap warga Sangatta buaya yang terciduk berada di jalan menuju pemukiman warga
Sampai-sampai ada masyarakat karena sudah “geram” dengan keberadaan buaya ganas yang memangsa manusia mengusulkan buaya untuk diburu dan dibunuh serta dijual kulitnya. Akan tetapi hal itu melanggar pasal perundangan-undangan satwa dilindungi dan langka serta hewan satu-satunya dari era populasi binatang purba dinosaurus yang patut dilestarikan. Berbeda dengan keinginan Joni yang berharap pada pembangunan penangkaran buaya walau di katakan tidak efektif setidaknya ada upaya dalam mengkarantinakan buaya agar tidak berkeliaran bebas.
“Walau penangkaran buaya sudah pernah diprogreskan di jaman periode mantan Bupati Ismunandar bersama KB, hingga memasuki masa era kepemimpinan Ardiansyah-Kasmidi Bulang (ASKB) kembali dibahas tapi wajib terlaksana,” tegas Joni. Joni berharap perlunya pihak konservasi BKSDA dapat turun tangan dalam merelokasikan habitat buaya buatan di alam terbuka kembali.
“Selain itu perlu papan peringatan bertuliskan waspada rawan buaya liar berkeliaran disungai ini misalnya, pengawasan semua pihak untuk saling mengingatkan agar tidak berenang, beraktivitas di sungai, peran serta perusahaan juga semestinya memiliki tanggung jawab besar atas dampak kegiatan yang merusak ekosistem alam artinya wajib merelokasikan kawasan alam yang rusak akibat pertambangan dan perkebunan,” imbuh Ketua Dewan. Adanya jeratan pasal hukum bagi aktivitas perusahaan yang merusak ekosistem terlebih sampai memunahkan satwa agar ada efek jera sampai pencabutan ijin usahanya.(adv/aji/rin)