HARI sudah sore saat Fajar Sulaiman, 39 tahun, masih sibuk dengan aktivitasnya sebagai petugas pemakaman pasien Covid-19 di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kilometer 15, Karang Joang, Balikpapan Utara, Jumat, 9 Juli 2021.
Pria yang akrab disapa Fajar itu tak sendirian. Ia ditemai beberapa rekannya yang juga petugas pemakaman. Sunyi menjadi teman mereka. Sesekali bunyi sirine ambulans menggema di lokasi pemakaman.
Sore itu, Fajar dan teman-temanya tak bisa beristirahat lebih cepat. Masih ada beberapa jenazah pasien Covid-19 lagi yang harus mereka tunggu untuk kemudian dikebumikan.
"Masih nunggu di pemakaman mas, ini masih ada jenazah dalam perjalan ke Kilometer 15 (tempat pemakaman)," sebut Fajar saat dihubungi Kaltimkita.com lewat sambungan seluler.
Satu diantara beberapa jenazah Covid-19 yang diantarkan sore itu adalah Nur Ainah. Perempuan yang telah berusia 62 tahun itu merupakan ibu angkat Fajar.
Meninggal dunia saat menjalani perawatan intensif di Rumah Sakit Kanujoso Djatiwibowo (RSKD) Balikpapan. Pekan lalu, almarhum dinyatakan positif terpapar Covid-19.
Saat tiba di lokasi pemakaman, Fajar dibantu petugas lainnya menyambut dan bergegas mengangkut jenazah ibunya dari ambulans.
Beratnya peti jenazah tak lagi dirasakan Fazar saat itu. Hanyalah kucuran air mata menetes di balik Alat Pelindung Diri (APD) yang ia kenakan. "Insya Allah saya kuat," ucap Fajar menahan tangis.
Prosesi pemakamanpun siap digelar. Jenazah terlebih dahulu disalatkan. Setelahnya peti jenazah perlahan diturunkan ke dalam liang lahat.
Fajar ikut serta menurunkan peti tersebut yang diiringi ratap tangis. Seolah tak percaya, yang dumakamkan kali ini adalah ibunya sendiri.
"Saya enggak nyangka. Perasaan campur aduk. Ibu sudah sehat. Di sini Fajar bisa jengukin ibu setiap hari," tutur fajar mengingat kembali janjinya dihadapan makam.
Meski diselimuti kesedihan, Fajar meminta rekan-rekan petugas pemakaman lainnya untuk tetap semangat. Baginya, ini bagian dari risiko pekerjaan.
"Ini sudah menjadi tanggung jawab. Kita melaksanakan tugas negara. Ibarat perang melawan Covid-19, harus ada yang dikorbankan. Yakni kesedihan," tutupnya.
Mengenal Lebih Dekat Fajar Sulaiman
Sebelum pandemi, Fajar merupakan staf Subbag Umum Dinas Kesehatan Kota (DKK) Balikpapan. Kini dia menjadi tim operator tim pengubur Covid-19 Balikpapan.
Pakaian serba putih mengkhiasi tubuhnya setiap hari. Sudah setahun lebih lamanya, menjadi bagian dari tim pengubur. Profesi yang belum pernah dilakukannya selama ini. Kesehariannya sebelum adanya virus corona, hanya berurusan dengan berkas.
Kini, ia terpaksa harus berurusan dengan jenazah. Sebagai operator tim pengubur. Tugasnya tentu cukup berat. Dirinya wajib melindungi, mengajarkan, mengawasi para anggotanya yang terdiri dari enam orang agar tidak terpapar virus.
Termasuk mengatur petugas lain yang tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) agar berada di tempat aman. Pun mengatur jarak aman keluarga korban.
"Saya tidak menyangka ditunjuk menjadi tim operator. Awal mulanya ragu dan takut. Karena tugas ini sangat berat. Apalagi ini pekerjaan yang baru saya lakukan pertama kalinya," tuturnya.
"Mau tidak mau, akhirnya terima saja. Karena saat itu, sangat sulit mencari orang untuk menjadi operator pemakaman jenazah. Apalagi kalau dipaksa, berbahaya juga. Karena kerja harus ikhlas dulu," lanjutnya.
Menjadi tugas baru dalam hidupnya, dia pun lebih banyak belajar dari youtube perihal tata cara melepas dan memasang APD. Hal ini agar tim yang diawasinya benar-benar bersih dari virus.
“Saya orang pertama yang harus menjaga tim saya dari virus. Jadi semua harus steril dan aman. Makanya sebisa mungkin saya belajar sendiri agar tim ini tetap diberikan kesehatan dan kekuatan. Kalau kami terpapar, siapa lagi yang akan memakamkan jenazah covid. Makanya saya selalu tekankan untuk safety. Karena tugas ini tak tahu kapan selesai,” jelasnya.
Memang, bersama dengan rekannya, sudah ratusan bahkan ribuan jenazah dimakamkan. Tak kenal waktu harus siap menjalani prosesi pemakaman. Fajar tentu punya rasa takut.
Tak pernah terpikirkan dalam benaknya, harus menjalani tugas seperti ini. Bahkan yang lebih menakutkan baginya, saat menguburkan jenazah pada pukul 02.00 dini hari. Dalam suasana hujan deras, Fajar berserta tim nya harus berjibaku melawan gelap, hujan dan rasa takut.
Momen tersebut ternyata menjadi pengalaman bagi semua tim nya. Di dalam pikiran mereka, hanya ayat-ayat Al Qur’an yang bisa membantu menenangkan pikiran.
"Keadaan itu yang paling menakutkan bagi kami. Semua tim membacakan ayat Al Qur’an untuk menghilangkan rasa takut. Karena penerangan lampu minim. Asli merinding. Kalau bisa tamat, tamat deh,” jelasnya.
Seiring berjalannya waktu, kini timnya sudah mulai terbiasa. Bahkan dalam beberapa minggu terakhir, angka kematian cukup meningkat, mereka masih bisa mengatasinya.
“Dalam sepekan terakhir, kami melakukan penguburan bisa sampai subuh. Itu sudah jadi hal biasa dan tim tetap semangat menjalankannya,” akunya.
Pun begitu, sekuat apapun menjalani profesi sebagai tim pengubur. Mereka pasti punya rasa lelah. Terlebih, profesi ini memaksa mereka untuk jauh dari keluarga.
Bagi Fajar bisa dihitung dengan jari, waktu kumpul dengan keluarganya di rumah. Ayah anak empat dan mengasuh dua anak yatim piatu ini mengaku jarang pulang ke rumah.
Pria kelahiran 27 Maret 1982 ini harus rela menginap di wisma Observasi Pemkot Balikpapan. Sebuah tempat di kawasan Kecamatan Balikpapan Kota yang disediakan buat rumah karantina tim khusus gugus tugas dan pasien covid. Disisi lain, ia juga khawatir ketika pulang harus menularkan kepada istri dan anak-anaknya yang masih kecil.
Pernah suatu waktu, dia pulang ke rumah, muncul rasa kangen ingin memeluk anaknya yang sudah menanti kedatangannya. Namun dirinya menahan sekuat hati keinginannya itu.
“Saya jarang pulang. Kalaupun ada waktu, itupun ketemunya sebentar dan tidak lama. Hanya sekadar melepas rindu. Karena untuk ketemu, harus betul-betul steril dulu. Dan tidak pernah singgah kesana kemari. Dengan begitu anak dan istri aman,” ucap pria yang juga merupakan penanggung jawab Wisma Observasi Pemkot Balikpapan.
Atas kurangnya waktu yang didapat dengan keluarga, awalnya ia mengaku keluarga sangat tidak setuju. Setelah dijelaskan panjang lebar dan pekerjaan ini cukup mulia dan memperbanyak amal ibadah dengan menolong orang kesusahan, akhirnya keluarga menyetujui.
“Dan berkat izin dan dukungan mereka, saya sampai saat ini tetap semangat menjalankan tugas. Meski nyawa taruhannya. Jauh dari keluarga dan sangat dekat dengan virus mematikan. Salah sedikit, kami bisa terpapar. Bahkan bisa saja kami sendiri dikuburkan,” akunya.
Dia pun berharap, pandemi ini cepat berlalu. Karena pria berdarah Makassar ini sudah sangat rindu kehidupan normal. Bercengkrama dengan keluarga setiap hari dan mengajaknya berlibur dan santai saat week end.
“Sudah sangat rindu kehidupan normal. Semua pasti kangen akan itu. Makanya harapan saya kepada masyarakat, tolong patuhi protokol kesehatan. Jangan menganggap remeh pandemi ini. Ini bukanlah sebuah permainan, tapi nyata apa adanya. Tidak ada kata konspirasi di pandemi ini. Tolong bantu kami. Karena kami juga punya keluarga,” harapnya. (an/and)